Tidak ada seorangpun di antara ulama yang faham akan al Qur'an dan As Sunnah yang berani mengatakan bahwa tahlilan untuk memperingati kematian seseorang itu berasal dari tuntunan Islam. Akan tetapi pemahaman orang awam tidaklah demikian. Sejak lahir mereka hidup di tengah-tengah masyarakat muslim (red: lebih tepatnya mengaku muslim) yang biasa melakukan ritual ibadah tahlilan untuk memperingati keluarganya yang sudah meninggal. Mereka mengira bahwa ritual ibadah tahlilan itu merupakan tuntunan Islam dan seolah-olah menjadi satu kewajiban tersendiri di luar rukun Islam yang harus mereka tunaikan. Mereka menganggap satu aib bila ada orang yang kematian anggota keluarga kok tidak melaksanakan tahlilan. Sehingga walaupun miskin mereka akan melaksanakan acara itu meskipun harus menjual harta kekayaan mereka atau harus menanggung hutang. Mereka juga menganggap orang yang tidak melaksanakan ritual tersebut bila orang tuanya meninggal dunia sebagai orang yang tidak berbakti kepada orang tua. Ritual ibadah tahlilan telah dianggap masyarakat sebagai satu cara untuk berbakti kepada orang tua yang sudah meninggal.
Sikap
keliru seperti itu telah dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung
jawab untuk menyulut konflik horizontal antara kelompok yang menjunjung
tinggi ritual ibadah tahlilan untuk memperingati kematian dengan
kelompok masyarakat yang tidak mau melakukan tahlilan karena bukan dari
tuntunan Islam. Orang-orang yang memanfaatkan kesempatan dalam
kesempitan tersebut biasanya orang yang mendapatkan keuntungan dari
ritual ibadah itu seperti modin, bayan, dan sejenisnya. Tokoh-tokoh ini
yang paling dirugikan bila masyarakat meninggalkan acara tahlilan.
Banyak di antara mereka yang menghasut masyarakat menuduh kelompok
pengajian yang tidak mengajarkan dan tidak menganjurkan tahlilan sebagai
aliran sesat. Orang-orang awam yang merasa bahwa tahlilan itu tuntunan
Islam langsung saja menerima hasutan itu. Faktanya orang-orang Islam
pada umumnya melakukan tahlilan kok kelompok ini tidak melakukan,
berarti kelompok ini sesat. Sehingga ketika mereka berbuat anarki
menggrebek pengajian yang tidak mengajarkan tahlilan dan membubarkannya
tidak merasa bersalah. Bahkan merasa telah melakukan amal shaleh. Mereka
tidak peduli lagi bahwa hukum Negara menjamin orang untuk merdeka dalam
beragama dan beribadah menurut keyakinan masing-masing. Mereka tidak
peduli lagi bahwa berbuat anarki, main hakim sendiri itu termasuk
perbuatan melanggar hukum negara. Mereka tidak peduli lagi bahwa sesama
muslim itu bersaudara, sehingga memperlakukan sesama orang Islam yang
tidak tahlilan sebagai musuh. Mereka tidak peduli lagi bahwa dalam
ajaran Islam, yang benar itu adalah yang sesuai dengan Al Qur'an dan As
Sunnah. Padahal ritual ibadah talilan untuk memperingati kematian itu
tidak ada dalilnya sama sekali dalam Al Qur'an maupun As Sunnah.
Nabi
Muhammad saw ketika masih hidup pernah kematian istrinya Khodijah
tetapi tidak pernah memperingati kematian istrinya dalam bentuk apapun
apalagi dengan ritual tahlilan. Beliau juga kematian pamannya Hamzah, si
singa padang pasir yang meninggal dalam perang Uhud. Beliau juga tidak
pernah memperingati kematian pamannya. Para sahabatnya banyak yang
meninggal dunia dalam berbagai pertempuran dalam rangka menegakkan
Islam, tetapi tidak satupun yang pernah beliau peringati dengan
tahlilan. Setelah Rasulullah saw wafat, Abu Bakar tidak pernah
memperingati kematian Rasulullah Muhammad saw. Setelah Abu Bakar wafat
Umar bin Khaththab sebagai kholifah juga tidak pernah memperingati
kematian Rasululah Muhammad saw dan Abu Bakar ra. Semua Khulafaur
Rasyidin tidak pernah memperingati kematian Rasulullah saw. Memang Islam
tidak menuntunkan orang untuk memperingai kematian. Peringatan kematian
pada hari ke 1, 3, 7, 40, 100 dst adalah TRADISI HINDU. Mereka
berkeyakinan bahwa ruh orang yang mati pada hari-hari itu kembali ke
rumahnya. Kalau pada saat kembali disana tidak ada keramaian maka ruh
itu akan menyusup ke tubuh orang yang menyebabkan dia akan kesurupan.
Maka pada hari-hari itu mereka melakukan ritual peribadatan untuk
mencegah agar ruh tidak mengganggu anggota keluarga.
Kalau
Rasulullah saw tidak pernah memperingati kematian, para sahabat
semuanya tidak pernah ada yang memperingati kematian, mengapa kita tidak
berani meninggalkan upacara peringatan kematian? Panutan kita adalah
Rasulullah saw dan para sahabatnya, bukan?
Orang
sering berkilah bahwa tahlilan yang merupakan bagian dari upacara
peringatan kematian itu adalah untuk mengirimkan pahala doa dan bacaan
ayat-ayat Al Quran, lalu apa salahnya? Bukankah kita dituntunkan untuk
mendoakan orang tua kita yang sudah mati? Rasulullah saw memberitakan
bahwa semua amal manusia terputus setelah mati kecuali tiga perkara
yakni sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang
mendoakan orang tuanya (HR Muslim). Hadist itu shahih dan sharih, akan
tetapi hadist itu berbicara tentang mendoakan, bukan mengirim pahala doa
dan bacaan ayat-ayat Al Qur'an. Mendoakan orang tua yang sudah
meninggal yang beragama Islam memang dituntunkan oleh Islam, tetapi
mengirim pahala doa dan bacaan TIDAK ADA tuntunannya sama sekali.
Menurut madzhab Syafii, seperti dikutip Imam Nawawi dalam Syarah
Muslimnya mengatakan bahwa bacaan qur'an (yang pahalanya dikirimkan
kepada mayit) tidak dapat sampai. Dalilnya adalah "Dan seseorang tidak
akan memperoleh selain apa yang dia usahakan" (QS An Najm 53: 39).
Imam
Al Haitami dalam Al Fatawa Al Kubra Al Fighiyah mengatakan: "Mayit
tidak boleh dibacakan apapun, berdasarkan keterangan yang mutlak dari
ulama mutaqaddimin, bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada
mayit) tidak dapat sampai kepadanya." Sedang dalam Al Um Imam Syafi'i
menjelaskan bahwa Rasulullah saw memberitakan sebagaimana diberitakan
Allah, bahwa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri, seperti halnya
amalnya adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain dan TIDAK
DAPAT DIKIRIMKAN kepada orang lain. (Al Um juz 7, hal 269) Beliau juga
mengatakan bahwa beliau tidak menyukai ma'tam, yaitu berkumpul (di rumah
keluarga mayit), meskipun di situ tidak ada tagisan, karena hal itu
malah akan menimbulkan kesedihan baru (Al Um, juz I, hal 248) Imam
Nawawi mengatakan bahwa penyediaan hidangan makanan oleh keluarga si
mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ tidak ada nashnya sama
sekali, yang jelas itu adalah bid'ah yang tidak disunatkan (Al Majmu'
Syarah Muhadzab, juz 5 hal 286).
Nah,
kalau mengirimkan pahala kepada si mayit, berkumpul di rumah keluarga
si mayit, dan membuat hidangan untuk orang-orang yang berkumpul tiak ada
dalilnya dari Al Qur'an dan As Sunnah, bahkan ditentang oleh para ulama
besar lalu siapa yang kita ikuti? Mengapa kita takut meninggalkannya?
Sebaliknya menurut sunnah yang seharusnya yang membuat makanan adalah
tetangga atau kerabat dekat untuk keluarga si mayit. Adapun dalilnya:
dari Abdullah bin Ja'far, ia berkata: Setelah datang berita kematian
Ja'far, Rasulullah bersabda: "Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far,
karena telah datang, kepada mereka sesuatu yang menyusahkan mereka (HR
Tirmidzi juz 2, hal 234, dia berkata hadist ini hasan). Mestinya
tetangga yang meringankan beban keluarga si mayit dengan membuatkan
makanan untuk keluarga si mayit, bukan malah membebani keluarga si mayit
untuk memberi makan orang banyak yang berkumpul di rumahnya.
Kalau
memang tidak ada tuntunannya dalam agama, mengapa kita takut
meninggalkannya. Kalau memang belum berani okelah, tetapi jangan sampai
menentang orang yang sudah berani meninggalkannya. Sebaiknya kalian
berdo'a memohon kepada Allah untuk segera diberi keberanian untuk
meninggalkannya. Untuk apa takut kepada manusia kalau akhirnya harus
menaggung resiko masuk neraka karena mangamalkan bid'ah. Karena tidak
ada tuntunannya dalam agama, berarti upacara peringatan kematian itu
termasuk bid'ah dalam ibadah. Kullu bid'atin dlolalah wa kullu
dlolalatin finnari (Semua bid'ah (dalam ibadah) adalah sesat dan semua
kesesatan itu masuk naraka) (HR An Nasa'i juz 3, hal 188) Sebagai
seorang muslim yang baik yang mengharapkan kasih sayang Allah sebaiknya
segera kita tinggalkan TAHLILAN.
BACALAH TAHLIL DALAM STIAP WAKTU DAN KESEMPATAN ITU JAUH LEBIH BAIK....(walahualam bisawab)
Sumber : COPAS dari sebuah Blog
Sumber : COPAS dari sebuah Blog
0 komentar:
Posting Komentar