Seorang pemuda menanam pohon
berduri di depan rumahnya. Walikota menyuruh si pemuda untuk memotong pohon
tersebut dengan kapak milik sang pemuda karena kekhawatiran akan bahaya yang
tidak hanya mengancam keselamatan si-pemuda tapi juga para pejalan yang kerap
lewat di depan rumahnya. Belum lagi bahaya-bahaya lain yang sangat mungkin
ditimbulkan dari pohon berduri itu. Namun sialnya pemuda kita ini menggangap
enteng dan terus menerus mengundur-undur waktu untuk menebangnya.
Roda waktu berputar tanpa henti.
Bulan berganti tahun, pohon berduri itu telah tumbuh membesar, akarnya
menghujam jauh kebumi, dahan dan rantingnya kini sudah menjulur kesana kemari.
Sementara pemuda ini telah berubah menjadi seorang kakek ringkih. Ketika
mengetahui pohon berduri itu telah benar-benar melukai dan menyengsarakan
dirinya dan banyak orang, kakek ringkih ini segera mengambil kapak berniat
untuk menebang pohon berduri tanamannya. Namun betapa sayangnya ayunan kapak si
kakek sudah tidak mampu lagi menggores kokohnya pohon. Usia uzur si kakek telah
merenggut kekuatannya untuk menumbangkan pohon berduri tersebut, hasil
tanamannya sendiri.
Maulana Rumi, penyair sufi
Afghanistan itu menuturkan cerita ini dalam Masnawi-nya. Rumi mengingatkan
kepada kita bahwa penundaan untuk menghentikan tindakan buruk hanya semakin
mengokohkan keburukan itu sendiri dan melemahkan energi untuk merubahnya. Di
dalam hati kita pohon berduri itu tumbuh saat kita melakukan keburukan kpada
Allah, diri sendiri dan sesama. Jangan menunggu waktu, karena tiap detik adalah
kesempatan mengakarkan, mengokohkan pohon itu disekujur tubuhmu. Ambilah kapak
imanmu segera sebelum terlambat untuk menumbangkannya. Penundaan hanyalah
melahirkan ketakberdayaan. Kelak saat kapak imanmu tak lagi tajam, tubuhmupun
sudah kehilangan kekuatan. Belantara pohon berduri itu bahkan kelak menusuk
mata, telinga dan hatimu. Sebelum telingamu bernanah oleh cemoohan, matamu
menangis oleh kedukaan tak berujung, dan hatimu berdarah oleh himpitan derita
dan azab, tebaslah pohon berduri itu. Janganlah berani melawan waktu, karena
waktu selalu menertawakan keringkihanmu.
Mentari dzulhijjah menutup mata
sudah. Rembulan satu muharram mengabarkan tahun baru. Jika hidupmu seperti
pekat malam, yakinlah selalu ada rembulan dan bintang yang mencerahkan. Sepekat
dan segelap apapun hidupmu, setitik cahaya pun mampu mengusir ketakutanmu. Di
tengah kegelapan hidup di mekkah dahulu, Rasul membawa sahabat-sahabatnya
menjemput cahaya kota madinah. Hijrah, mengubah hidup agar terarah. Hijrah,
meneguhkan hidup diatas bimbingan cahaya. Allah adalah cahaya langit bumi.
Allah adalah cahaya diatas cahaya (QS. An-Nur : 35).
Tekadmu adalah kapak itu.
Tebaslah kini pohon-pohon berduri di hatimu. Renggutlah akar-akarnya. Seperti
Ibrahim, kakekmu, menghancurkan berhala-berhala yang membatu disekujur tubuhmu.
Belajarlah kini menjadi petani yang selalu merindui hujan. Guyurilah hati dan
tubuhmu senantiasa dengan kebeningan rintik ayat-ayat Allah. Tanamlah berlahan
benih kejujuran, keikhlasan, kesabaran, tulus hati dan pengabdian kepada Allah.
Rawat dan pupuklah mereka secara sabar. Kelak diakhir tahun, saat mereka
berbuah, panen raya mendekapmu dalam bahagia. Saat hatimu lega dan bersuka
cita, berbagilah dengan sesama. Hatimu adalah surgamu. Bukan pohon berduri yang
seharusnya menempati, namun anggur Allah yang mestinya bersemayam. Selamat
menanam.
Kutipan beletin dakwah Madani
0 komentar:
Posting Komentar